EPILEPSI
2.1. Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang
ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila
seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski,
1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral
kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak
yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak
dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis
dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal
dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
2.2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi
sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
- Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap
penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik
epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang
didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi
tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE.
Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan
terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya
dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah
terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan
mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan
pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang
terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian
besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal
saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan.
Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi,
demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan
kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi.
Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada
otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga
memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab
kejang pada epilepsi
|
|
Bayi (0- 2 th)
|
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
|
Anak (2- 12 th)
|
Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
|
Remaja (12- 18 th)
|
Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
|
Dewasa Muda (18- 35 th)
|
Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
|
Dewasa lanjut (> 35)
|
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepatik, dll )
Alkoholisme
|
2.3.Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan
(impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls
motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron
ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi).
Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan
inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang
disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan
oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran
sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan
paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal
yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1)
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2)
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3)
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4)
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi
selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya
kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan
metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan
yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi
lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang
secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut
lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
2.4. Klasifikasi Kejang
2.4.1. Berdasarkan
penyebabnya
- epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
- epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.4.2. Berdasarkan
letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
- Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial
sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak
menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar
: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : epilepsi
disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : epilepsi
disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan
fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau
sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima
panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
-
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
-
Visual : terlihat cahaya
-
Auditoris : terdengar sesuatu
-
Olfaktoris : terhidu sesuatu
-
Gustatoris : terkecap sesuatu
-
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan
saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi,
dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan
fungsi luhur)
-
Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat.
-
Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa
di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
-
Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
-
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
-
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
-
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial
kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti
gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
-
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
-
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak
serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
-
Hanya dengan penurunan kesadaran
-
Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang
berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang
berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang
berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang
menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
- Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena
(absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang
sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke
atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung
selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik
ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut
mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen
atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh
mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen
klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung
mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen
autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
-
Gangguan tonus yang lebih jelas.
-
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi
kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua
otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua
umur.
Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi
gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan,
tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen
klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas,
flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada
umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak
jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira
¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini
biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh
badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik
atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
- Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah
bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan
seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
2.5. Manifestasi Klinis
dan Perilaku
a) Manifestasi
klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
b) Kelainan
gambaran EEG
c) Bagian tubuh
yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d) Dapat mengalami aura
yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar
suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
e) Napas terlihat
sesak dan jantung berdebar
f) Raut muka
pucat dan badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau
tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau
somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal
seperti pada keadaan normal
h) Individu
terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu
tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di
saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba
j)
Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang
k) Gigi geliginya
terkancing
l)
Hitam bola matanya berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari
liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Di saat serangan, penyandang
epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak
mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik
rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke
segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya
menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar.
Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya
pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air
kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel
otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan
listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan
oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada
sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan
ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak,
berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau
adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok
sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan
oleh berbagai faktor.
2.6. Pemeriksaan
Diagnostik
a) CT
Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak
yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b)
Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c)
Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
-
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
-
menilai fungsi hati dan ginjal
-
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
-
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
2.7. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a) Pastikan diagnosa epilepsi dan
mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi
yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:
-
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
-
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
-
Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan
terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme
(hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan
ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat
dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata
bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital,
dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari
obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a)
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b)
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c)
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam
atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d)
Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah
lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e)
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya,
karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah,
dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi
jalan pernapasannya.
f)
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa
disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan
aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan
anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g)
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat,
bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a)
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b)
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa
jalan napas paten.
c)
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode
apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e)
Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f)
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan
biarkan penderita beristirahat.
g)
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h)
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini
bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang
lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul
akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma
masyarakat tentang penderita epilepsi.
2.8. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan
tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi
muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma
atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian
tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang
tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu
yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk
mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan
kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana
dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
2.9. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah
pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk
mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang
lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance)
seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40%
anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan
etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat
pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan
secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan
tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan
berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak,
ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder,
obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin.
Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan
asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan
obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas
tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping,
maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih
AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.11
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya
Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan
kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase
fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan
neurotransmitter.11
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat
saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na
.juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.11
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang
digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital
bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks
saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular,
fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan
amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan
menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti
fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang
diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan
transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak
dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide
dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide
reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka
voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi
rendah 3Hz dari neuron thalamus.11
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor
spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat
menambah pelepasan GABA.11
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na
peka voltase.11
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na
, menambah kerja hambat dari GABA.11
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA
dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan
optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi
farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam
valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital
dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da
kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam
valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
2.10.
Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada
beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor penyebab, saat pengobatan
dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan
obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum
obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan
lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi
yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan
neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a)
Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat
menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan
pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum
alcohol (alcoholic)
b)
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
c)
Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat
penyakit dahulu:
-
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
-
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
-
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
-
Tumor Otak
-
Kelainan pembuluh darah
-
demam,
-
stroke
-
gangguan tidur
-
penggunaan obat
-
hiperventilasi
-
stress emosional
e)
Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan
penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat
4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f)
Riwayat psikososial
-
Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
-
Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
g)
Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1
(breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2)
B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3
(brain): penurunan kesadaran
4)
B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5)
B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6)
B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang
h)
Analisis Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah Keperawatan
|
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang-
nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah menjulur
|
perubahan aktivitas listrik di
otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol
|
Resiko cedera
|
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis
|
gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
|
Bersihan jalan napas tidak efektif
|
DS: terjadi aura (mendengar bunyi
yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu), halusinasi,
perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap
stimulus, terjadi salah persepsi
|
Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak
serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ
sensori persepsi
|
Gangguan persepsi sensori
|
DS: klien terlihat rendah diri
saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri
|
Stigma masyarakat yang buruk
tentang penyakit epilepsi atau ”ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri
|
Isolasi sosial
|
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas
cepat atau tidak teratur
|
Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi
penyakit
Bingung
|
Ansietas
|
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak
teratur,
|
Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula
oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas
|
Ketidakefektifan pola napas
|
DS: klien merasa lemas, klien
mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea,
|
terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan
menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas
|
Intoleransi aktivitas
|
DS: pasien menunjukkan kelelahan,
diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan
kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek
|
CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2
tidak adekuat)
|
Resiko penurunan perfusi serebral
|
3.2.
Diagnosa Keperawatan
1)
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
4)
Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5)
Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6)
Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7)
Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8)
Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
3.3.
Intervensi dan rasional
1)
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat
mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi
cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan
yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
|
Barang- barang di sekitar pasien
dapat membahayakan saat terjadi kejang
|
Pantau status neurologis setiap 8
jam
|
Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
|
Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat
mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
|
Mengurangi terjadinya cedera
seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
|
Pasang penghalang tempat tidur
pasien
|
Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
|
Letakkan pasien di tempat yang
rendah dan datar
|
Area yang rendah dan datar dapat
mencegah terjadinya cedera pada pasien
|
Tinggal bersama pasien dalam waktu
beberapa lama setelah kejang
|
Memberi penjagaan untuk keamanan
pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
|
Menyiapkan kain lunak untuk
mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
|
Lidah berpotensi tergigit saat
kejang karena menjulur keluar
|
Tanyakan pasien bila ada perasaan
yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang
|
Untuk mengidentifikasi manifestasi
awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
|
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai
advice dokter
|
Mengurangi aktivitas kejang yang
berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
|
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu
jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak
biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
|
Sebagai informasi pada perawat
untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
|
Berikan informasi pada keluarga
tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang
|
Melibatkan keluarga untuk
mengurangi resiko cedera
|
2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20
kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan
mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase
aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi
miring, permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada
daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program
terapi
|
menurunkan resiko aspirasi atau
masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan aliran (drainase)
sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas
/ ekspansi dada
Mengeluarkan mukus yang
berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan
oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat
dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler
selama serangan kejang.
|
3)
Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri
pasien
Kriteria hasil:
-
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identifikasi dengan pasien,
factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
|
Memberi informasi pada perawat
tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
|
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan
motivasi pada pasien
|
Dukungan psikologis dan motivasi
dapat membuat pasien lebih percaya diri
|
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
|
Konseling dapat membantu mengatasi
perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
|
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok
penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.
|
Memberikan kesempatan untuk
mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang
lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
|
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi
kepada pasien
|
Keluarga sebagai orang terdekat
pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
|
Memberi informasi pada keluarga
dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular
|
Menghilangkan stigma buruk terhadap
penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
|
3.4. Evaluasi
1)
Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2)
Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3)
Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4)
Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5)
Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari-
hari secara normal
6)
Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7)
Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8) Status
kesadaran pasien membaik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar